Profil

Masjid Agung Demak

Sebagai masjid tertua di Pulau Jawa, Masjid Agung Demak sudah memiliki Nomor Sertifikat ISO, Nomor ID Masjid, serta Nomor Registrasi Nasional, sebagai berikut:

  1. Nomor Sertifikat ISO (CERTIFICATE ISO 9001 NUMBER): 20ACM9200Q
  2. Nomor ID: ID MASJID 01.5.14.21.11.000001. Registrasi dalam Sistem Informasi Masjid (SIMAS) Direktorat Urusan Agama dan Pembinaan Syariah Direktorat Jenderal Bimas Islam Kementerian Agama RI.
  3. Nomor Registrasi Nasional : 20151218.04.000096. Registrasi Nasional dalam Sistem Registrasi Nasional Cagar Budaya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia melalui SK Menteri No.243/M/2015.

Alamat elektronik Masjid Agung Demak

Untuk mempermudah pengunjung bersilaturahmi secara efektif dan efisien, berikut adalah alamat elektronik kami:

Nomor Telepon Kantor Ta’mir : 685532
Alamat Email : masjid.agung.demak.57@gmail.com
Alamat Website : https://masjidagungdemak.org/
Alamat Instagram : https://www.instagram.com/masjid.agung.demak/

Status Masjid Agung Demak

Status Masjid Agung Demak adalah Masjid Bersejarah sesuai dengan Keputusan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Nomor DJ.II/802 Tahun 2014 Tentang Standar Pembinaan Manajemen Masjid, (Bab III Tipologi Masjid Huruf G)

Situs Masjid Agung Demak adalah Cagar Budaya Peringkat Nasional, sesuai dengan SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor: 243/M/2015, tertanggal 18 Desember 2015)

Status Tanah Masjid Agung Demak adalah tanah wakaf Badan Kesejahteraan Masjid (BKM) Kabupaten Demak dengan nomor AIW / APAIW : K.1 / BA.02.3 / 763 / 11 / 1996. Adapun luas tanah yang ditempati Masjid Agung Demak adalah seluas 12.592 m2, dengan luas bangunan induk masjid 537 m2, dan tahun pertama berdiri 1466 M.

Selain itu, Masjid Agung Demak juga memiliki Nomor Registrasi Nasional : RNCB.20151218.04.000096 (Sesuai dengan SK Menteri No243/M/2015).

SK Penetapan : SK Menteri No049/M/1999,
Peringkat Cagar Budaya : Nasional, dan
Kategori Cagar Budaya : Situs

Sejarah Masjid Agung Demak

Masjid Agung Demak (abjad Pegon: مَسْجِد اَڮَوڠ دَمَق) memiliki nilai historis yang sangat penting bagi bukti perkembangan agama Islam di Nusantara. Masjid ini juga termasuk salah satu masjid tertua yang berada di Nusantara hingga saat ini. Masjid ini dulu dibangun oleh Raden Fatah beserta bantuan dari Walisongo. Di Masjid ini, dipercayai pernah menjadi tempat berkumpulnya Walisongo yang menyebarkan agama islam di tanah Jawa. 

Sejarah Masjid Agung Demak berkaitan erat dengan sejarah Kesultanan Bintoro Demak, diawali dari lahirnya seorang putra mahkota Kerajaan Majapahit, yang lahir di Palembang 1448 M di kediaman Raden Ario Damar yang saat itu menjabat Adipati Palembang, dan diberi nama oleh Ibundanya dengan Raden Jinbun, Raden Ario Damar memberi nama Raden Hasan.

Menurut Babad Demak, masjid ini didirikan pada tahun 1388 Saka (1466 M) dengan ditandai oleh candrasengkala “Nogo Mulat Saliro Wani”, sebagai masjid Pesantren Glagah Wangi. Kemudian renovasi kedua dilakukan pada tahun 1399 Saka (1477 M) sebagai masjid Kadipaten. Adapun simbol / relief bulus yang berada pada mihrab Masjid Agung Demak menunjukkan bahwa renovasinya Masjid Agung Demak tahun 1401 Saka atau tahun 1479 M, sebagai masjid Kesultanan Demak Bintoro.

Bangunan utama dari Masjid Agung Demak memiliki luas 31 x 31 meter, sedangkan serambi masjid berukuran 31 x 15 meter dengan panjang keliling 35 x 2,35 meter. Serambi masjid berbentuk bangunan yang terbuka. Bangunan masjid disangga dengan 4 tiang utama (saka guru), tiang penyangga bangunan masjid berjumlah 50 buah, tiang penyangga serambi berjumlah 28 buah, dan tiang kelilingnya berjumlah 16 buah. Salah satu saka guru dikenal sebagai saka tatal (sisi timur-utara), karena dipercaya pada ruas saka tersebut disusun dari serpihan-serpihan kayu (Jawa: tatal) oleh Sunan Kalijaga. Atap serambi berbentuk limas ditopang delapan tiang yang disebut Saka Majapahit. Atap bangunan utama berbentuk limas susun tiga (atap tumpang) sebagai gambaran tingkat kesalehan normatif kaum muslim yaitu iman, Islam, dan ihsan.

Masjid Agung Demak menjadi warisan budaya bangsa Indonesia dan telah ditetapkan sebagai situs cagar budaya dalam UU No.5/1992, yang ditegaskan pula dengan PP No.10/1993. Sebagai cagar budaya Islam, keberadaan Masjid Agung Demak menjadi entitas yang sangat penting bagi bangsa Indonesia atau bangsa-bangsa serumpun, bahkan dunia Islam pada umumnya.

Berdasarkan dokumen yang berada di Museum Masjid Agung Demak, ada beberapa obyek yang bernilai historis dan arkeologis yang menjadi benda-benda cagar budaya yaitu:

  1. Bangunan masjid konstruksi kayu dan atap limas susun (tumpang) tiga,
  2. Delapan tiang serambi Majapahit,
  3. Bedhug dan kenthongan masjid,
  4. Situs kolam wudhu,
  5. Dhampar kencana,
  6. Lawang bledheg,
  7. Piringan keramik (65 buah),
  8. Simbol kesultanan Demak (Surya Majapahit),
  9. Mushola wanita (pawestren),
  10. Kaligrafi glass in lood,
  11. Maksurah / khalwat,
  12. Ukiran kaligrafi Illahiah,
  13. Menara adzan.

Kerajaan Kasultanan Demak yang berdiri pada akhir kejayaan Kerajaan Majapahit ini juga berkaitan erat dengan Masjid Agung Demak. Raden Fatah adalah Raja pertama kerajaan tersebut yang diangkat oleh Wali Songo dengan sebutan gelar “Sultan Raden Abdul Fattah Al Akbar Sayyidin Panotogomo”. Disamping pusat pemerintahannya, Demak juga menjadi salah satu pusat penyebaran agama Islam yang berada di pulau Jawa. Masjid Agung Demak menjadi salah satu bukti dari peninggalan sejarah yang masih berdiri dengan kokoh dari dulu sampai sekarang ini.

Berita-berita pembangunan Masjid Agung Demak dapat dikaitkan dengan pengangkatan Raden Fattah sebagai Adipati Demak pada tahun 1462 dan pengangkatannya sebagai sultan Demak Bintara tahun 1478 M. Kala itu Majapahit jatuh di tangan Prabu Girindrawardhana yang berasal dari Kediri. Khafid Kasri (penulis dari buku Sultan Fattah atau Raden Patah, Demak) menyebutkan bahwa Raden Fattah menangguhkan penyerangan yang kedua dan melanjutkan mendirikan masjid Kadipaten Demak bersama para Wali Songo yang sudah dimulai sejak tahun 1477 Masehi / 1399 Saka.

Dikabarkan pula, bahwa Raden Fattah menyesali kekhilafannya karena terburu hawa nafsu mengadakan penyerangan kepada pasukan Girindrawadhana tanpa mengukur kekuatan pasukan musuh terlebih dahulu, yang pada akhirnya mengakibatkan banyak yang gugur di pihak pasukan Bintaro. Selesai dari penyerangan tersebut, para wali menyarankan Raden Fattah untuk melanjutkan pembangunan masjid Agung Kadipaten yang belum selesai sambil menjajagi kekuatan musuh. Raden Fattah menerima saran tersebut kemudian melanjutkan pembangunan masjid Kadipaten Demak dan menunda merebut tahta Majapahit yang dikuasai Prabu Girindrawardana, tetapi dengan syarat mustaka masjid yang akan dibuat nanti bentuknya runcing mirip angka satu arab (ahad). Persyaratan itu sebagai lambang kejantanan bahwa Demak berani menghadapi pasukan Majapahit.

Pembangunan Masjid Agung Kadipaten Bintoro yang telah dimulai sejak tahun 1477 M dapat diselesaikan pada tahun 1479 Masehi / 1401 Saka. Hal ini ditandai dengan adanya sengkala mamet berupa gambar berbentuk bulus, “krata basa bulus” dengan arti “yen mlebu kudu alus”. Sengkala memet bulus juga mengandung makna bahwa Raden Fattah sedang prihatin karena kerajaan ayahnya direbut oleh Girindrawadhana.

Gambar 1. Relief Bulus di Mihrab (pengimaman) Masjid Agung Demak

Masjid Agung Demak sendirinya dibangun dengan gaya khas Majapahit, dengan sedikit corak-corak budaya Bali. Gaya ini berpadu harmonis dengan langgam rumah tradisional yang berada di Jawa Tengah. Persinggungan arsitektur antara Masjid Agung Demak dengan bangunan Majapahit dapat dilihat dari bentuk atapnya. Meski demikian, kubah melengkung yang sangat identik dengan ciri khas masjid sebagai bangunan Islam justru sama sekali tidak nampak dalam bangunan tersebut. Sebaliknya, yang terlihat mencolok justru adaptasi dari bangunan peribadatan agama Hindu. Bentuk ini diyakini merupakan bentuk akulturasi dan toleransi masjid sebagai sarana penyebaran agama Islam di tengah masyarakat Hindu, kecuali bagian mustoko yang berhias asma Allah SWT serta menara masjid yang sudah mengadopsi gaya menara masjid Melayu. Dengan bentuk atap berupa tajuk tumpang tiga berbentuk segi empat, atap Masjid Agung Demak lebih mirip dengan bangunan suci umat Hindu. Bagian tajuk paling bawah menaungi ruangan ibadah, tajuk kedua yang lebih kecil bentuknya memiliki kemiringan lebih tegak dibanding atap di bawahnya, dan tajuk tertinggi berbentuk limas dengan sisi kemiringan lebih runcing.

Masjid Agung Demak pada dasarnya berdiri pada empat tiang utama yang disebut sebagai soko guru. Fungsi dari tiang-tiang ini sendiri tentu sebagai penyangga bangunan. Di antara empat tiang tersebut, ada satu tiang yang sangat unik, dikenal sebagai tiang tatal yang letaknya berada di sebelah timur laut. Disebut dengan nama tiang tatal (serpihan balok kayu) dikarenakan tiang tersebut dibuat dari sisa-sia serpihan kayu yang ditata dan dipadatkan, lalu diikat sampai dapat membentuk tiang yang rapi. Pada tiang-tiang penyangga masjid, termasuk soko guru, masih terdapat ukiran yang masih menampakkan corak ukiran gaya Hindu yang indah bentuknya.

Gambar 2. Soko Guru Masjid Agung Demak

Gambar 3. Soko Tatal Masjid Agung Demak

Gambar 4. Soko Tatal Masjid Agung Demak di Museum Masjid Agung Demak

 

Bukan hanya ukiran pada tiang, terdapat pula beberapa ukiran-ukiran kayu yang ditempel pada dinding masjid yang berfungsi sebagai hiasan. Di dalam bangunan utama terdapat ruang utama, mihrab, dan serambi.

Gambar 5. Mihrab (Pengimaman) Masjid Agung Demak

Ruang utama yang berfungsi sebagai tempat shalat jamaah, letaknya di bagian tengah  bangunan. Sedangkan, mihrab atau bangunan pengimaman yang berada di depan ruang utama, berbentuk sebuah ruang kecil dan mengarah ke arah kiblat (Makkah). Terdapat serambi berukuran 31 x 15 meter yang memiliki tiang-tiang penyangga yang disebut Soko Majapahit yang berada di bagian belakang ruang utama dengan berjumlah delapan buah yang diperkirakan berasal dari kerajaan Majapahit.

Gambar 6. Soko Majapahit di Serambi Masjid Agung Demak

Gambar 7. Ukiran Solo Majapahit di Serambi Masjid Agung Demak

 

Nilai Budaya Pada Arsitektur Masjid Agung Demak

Arsitektur Masjid Agung Demak

Masjid Agung Demak adalah salah satu masjid tertua yang ada di Indonesia. Masjid ini terletak di Kampung Kauman, Kelurahan Bintoro, Kecamatan Demak, Kabupaten Demak, Provinsi Jawa Tengah. Gambar dibawah memperlihatkan posisi Masjid Agung Demak di barat alun-alun Demak yang merupakan kawasan yang menjadi landmark Kabupaten Demak.

Gambar 8. Peta Satelit Masjid Agung Demak dan Kawasannya

Sumber : Google Map, diunduh 2024

Tipologi Bentuk Masjid

Sebagaimana diketahui bahwa entitas bentuk Masjid Agung Demak dibentuk dengan unik dan khas. Membedakannya dengan masjid-masjid di wilayah lainnya di dunia. Pada gambar di atas, tampak masjid memiliki bentuk atap tumpang bersusun tiga yang merupakan bagian kepala masjid, menampilkan fasade bangunan masjid yang khas dan membedakannya dengan jenis atau tipe bangunan tradisional Jawa lainnya.

Atap Tajug adalah atap yang pertama kali bersumber dari konsep kosmologi. Pajupat, empat kekuatan mata angin pada dirinya dan diri manusia itu sendiri sebagai pancer. Harus mampu menyeimbangkan, menyelaraskan hingga mengharmoniskan kekuatan-kekuatan itu. Tergambar sangat jelas pada arsitektur dengan atap tajug. 

Empat kekuatan disimbolkan dengan empat soko guru, pancer mencoba menyeimbangkan (rasio), menyelaraskan (rasa), mengharmonikan (qalbu). Manusia jawa mencoba mewujudkan ketiga perbuatan itu (rasio-rasa-qalbu) maka dia akan menyatu membentuk bentuk atap yang disebut atap Tajug.

Dengan bentuk atap geometris piramida tersusun tiga semakin keatas semakin kecil pada bangunan induk (dalem) dan atap limasan pada bangunan serambi (pendopo), masjid ini dinamakan dengan masjid dengan tipe tajug yaitu atap dengan model piramida, meskipun pada bangunan serambinya Beratap limasan.

Tipe tajug adalah tipe masjid Jawa merupakan dasar bangunan ibadah yang sangat spesifik pada Masjid Agung Demak

 

Gambar 9. Tiga Bagian Vertikal Masjid Agung Demak

Masjid Agung Demak yang memiliki karakter bangunan sebagaimana yang ada pada arsitektur Jawa memiliki tipologi tertentu yang mendasari dan menjadi ciri-ciri khas masjid tersebut. Apabila dibagi menjadi tiga bagian yaitu; kepala, badan, dan kaki, tampak bahwa masjid ini memiliki elemen-elemen yang berada pada tiga bagian tersebut serta memperlihatkan struktur bangunannya seperti pada gambar di atas.
Arsitektur tradisional Masjid Agung Demak, memiliki ciri-ciri sebagai berikut :

  • Pondasi berbentuk persegi dan pejal (massive) yang agak tinggi
  • Tidak berdiri di atas panggung, tetapi diatas dasar yang padat
  • Mempunyai atap piramida yang meruncing ke atas, terdiri dari tiga tingkat yang disebut tajug, dan diakhiri puncaknya dengan mahkota
  • Mempunyai tambahan ruangan di arah barat untuk mihrab
  • Mempunyai serambi / pendopo dengan Soko Majapahit
  • Halaman di sekeliling masjid dibatasi oleh tembok yang melingkupi wilayah masjid
  • Dibangun di sebelah barat alun-alun
  • Dibangun dari bahan yang alami (kayu), meskipun kini telah mengalami perubahan dan tambahan material modern
  • Awalnya dibangun tanpa serambi (induk saja)
  • Bangunan induk lebih tinggi lantainya dari pada serambi
  • Bangunan pendopo dinding terbuka, atapnya berbentuk limasan

Gambar 10. Masjid Agung Demak

Gambar 11. Masjid Agung Demak

Struktur Denah

Denah pada Masjid Agung Demak memiliki unsur-unsur ruang yang terbagi menjadi dua ruangan mendasar, yaitu ruang induk atau dalem yang merupakan ruang utama shalat dan bersifat tertutup, dan ruang serambi atau pendopo yang merupakan ruangan terbuka, berfungsi sebagai ruang shalat juga sebagai ruang untuk kegiatan yang lain seperti pengajian dan musyawarah.

Konfigurasi denah masjid membentuk tatanan linier, memiliki oposisi biner serta tambahan orientasi ke kiblat yang ditandai dengan ruang mihrab.

Struktur denah pada Masjid Agung Demak lebih sederhana dari pada rumah Jawa. Namun, unsur-unsur utama pada denah tetap menjadi struktur denah utama yaitu pada ruang shalat utama (dalem), dan pada ruang serambi (pendopo). Tambahan ruang mihrab berupa ceruk kecil pada sisi barat ruang shalat utama dan menyatu. 

Gambar 12. Denah Masjid Agung Demak

Secara linier ruang-ruang pada Masjid Agung Demak memiliki kesamaan dengan ruang-ruang rumah Jawa, namun memiliki kompleksitas ruang yang lebih sederhana sesuai dengan peran (role) dan fungsinya sebagai masjid.

Struktur denah Masjid Agung Demak berpengaruh pada bentuk denahnya secara geometris, fungsi dan sifat denah masjid juga berpengaruh pada bentuk atapnya. Secara sederhana namun sangat mendasar, denah masjid terdiri dari dua ruangan yaitu serambi yang ditandai sebagai pendopo dan ruang shalat utama yang ditandai sebagai dalem.

Denah bangunan induk atau utama berbentuk bujursangkar, sedangkan pada bangunan serambi denah berbentuk persegipanjang, memanjang ke arah utara-selatan.

Dinding

Dinding pada Masjid Agung Demak terdapat pada ruang shalat utama yang melingkupi denahnya yang berbentuk bujursangkar. Tambahan ruang
kecil sebagai mihrab pada sisi barat yang berfungsi untuk tempat imam.

 

Gambar 13. Dinding Pada Bangunan Masjid Agung Demak

Gambar di atas memperlihatkan dinding pada Masjid Agung Demak yang menjadi pembatas ruang secara masif sehingga memperjelas wilayah
teritori antara ruang shalat utama dan ruang serambi. Pada sisi depan atau entrance ke ruang utama terdapat tiga buah pintu dan dua buah jendela. Pintu utama pada bagian tengah yang dikenal dengan pintu Bledeg

Atap

Atap Masjid Agung Demak bertingkat tiga (atap tumpang tiga), menggunakan sirap (atap yang terbuat dari bilah-bilah kayu tipis) dan berpuncak mustaka. Atap Masjid Agung Demak terdiri dari atap tajug yang menaungi ruang induk dan atap limasan yang menangungi ruang serambi. Struktur atap tajug Masjid Agung Demak ditopang dan diikat oleh soko atau kolom-kolom yang terdiri dari soko guru dan kolom-kolom yang mengelilinginya, kemudian diteruskan ke pondasi bangunan yang berbentuk umpak. Demikian pula pada atap limasan yang menutupi pendopo masjid, disokong oleh delapan soko utama dan kolom-kolom sekelilingnya.

Masjid Agung Demak dibangun dengan gaya khas arsitektur Majapahit, dengan pengaruh corak kebudayaan Bali. Gaya ini berpadu harmonis dengan langgam rumah tradisional Jawa Tengah. Perkawinan antara gaya arsitektur Masjid Agung Demak dengan gaya Majapahit bisa dilihat dari bentuk atapnya. Kubah melengkung yang identik dengan ciri masjid sebagai bangunan Islam malah tak tampak, dan sebaliknya yang terlihat justru adaptasi dari bangunan peribadatan agama Hindu. Bentuk ini diyakini merupakan simbolisasi konsep akulturasi dan toleransi yang dituangkan melalui pendirian masjid sebagai sarana penyebaran ajaran agama Islam di tengah-tengah masyarakat Hindu.

Dengan bentuk atap berupa tajuk tumpang tiga berbentuk segi empat, Masjid Agung Demak lebih mirip dengan gaya arsitektur bangunan peribadatan Hindu (pura). Bagian tajuk paling bawah menaungi ruangan ibadah. Tajuk kedua lebih kecil dengan kemiringan lebih tegak daripada atap di bawahnya, sedangkan tajuk tertinggi berbentuk limas dengan sisi kemiringan lebih runcing. Model atap limas bersusun tiga melambangkan tiga tingkatan yang sangat penting dalam ajaran agama Islam, yaitu iman, Islam, dan ihsan.

Gambar 14. Atap Tajug dan Limasan Masjid Agung Demak

Gambar 15. Atap Tajug dan Limasan Masjid Agung Demak

Bangunan utama yang merupakan ruang dalem Masjid Agung Demak, berdenah bujursangkar dengan empat soko guru ditengah bangunan, ditutup dengan atap tajug bertumpuk tiga seperti tampak pada gambar 4.6. Atap tajug bertumpu pada struktur utama soko guru, didukung pula oleh soko-soko lainnya yang disebut soko pengarak yang mengelilingi soko guru masjid, dan soko emperan pada teras masjid sisi kanan, kiri, dan bagian barat.

Atap tajug merupakan atap dengan bentuk spesifik yang menjadikan Masjid Agung Demak memiliki nuansa spiritualitas dan sakral, berperan sebagai rumah ibadah, pemberi identitas yang sangat kuat sebagai masjid tradisional Jawa. Diatas ujung atap tajug diletakkan mustaka atau mahkota berbentuk seperti daun pohon sukun yang mencerminkan puncak kedudukan.

Dengan atap Tajug, manusia sudah bisa menyeimbangkan, diselaraskan supaya kehidupan duniawi terasa nyaman, kemudian diharmonikan disatukan secara batiniah. Sehingga atap Tajug merupakan perwujudan ekspresi dari sangkan paraning dumadi – manunggaling kawulo gusti, karena itu atap tajug digunakan untuk bangunan-bangunan sakral, masjid atau cungkup makam.

Gambar 16. Atap Tajug Masjid Agung Demak

Sedangkan bagian cungkup atap yang terletak pada puncak masjid dihiasi dengan mahkota (crown) berbentuk organik. Diatas mahkota diletakkan tulisan Allah dalam kaligrafi arab.

Atap tajug tumpang tiga menyimbolkan Iman, Islam, dan Ihsan. Mahkota atau mustaka pada ujung atap paling atas, (menggambarkan) kekuasaan tertinggi adalah Allah SWT.

Bangunan serambi yang merupakan ruang pendopo masjid, berdenah persegi panjang dengan delapan Soko Majapahit ditengah bangunannya yang terbuka, soko Majapahit tersebut juga dikelilingi oleh soko pengarak. Pendopo ditutup dengan atap limasan yang memiliki bubungan (molo) searah utara-selatan masjid.

Gambar 17. Atap Limasan Masjid Agung Demak

Atap piramida tajug berakhir pada ujung tanpa bubungan (molo) dan bertumpuk semakin keatas semakin kecil menandakan adanya unsur vertikalitas/ transenden berkaitan dengan hubungan ketuhanan dan pencapaian nilai-nilai ibadah. Pada gambar 8, atap limasan memiliki bubungan, menandakan adanya unsur horizontalitas/ imanen berkaitan dengan hubungan sosial dan nilai-nilai kemasyarakatan.

Keharmonisan dari bentuk keduanya dipahami dengan melihat perbedaan bentuk atapnya masing-masing sehingga membentuk satu kesatuan bangunan Masjid Agung Demak. Atap tajug menutup ruang induk yang berbentuk bujursangkar pada denahnya, sedangkan atap limasan menutup ruang serambi yang denahnya berbentuk persegi panjang.

Gambar 18. Atap Tajug dan Limasan Masjid Agung Demak

Meskipun memiliki dua jenis atap, masjid ini tetaplah dinamakan dengan tipe tajug, yaitu tipe yang lazim dipakai sebagai wujud bangunan masjid
Jawa sebagai rumah ibadah umat Islam.

Gambar 19. Iustrasi Masjid Agung Demak

Gambar 20. lustrasi Masjid Agung Demak

Pada gambar di atas, dengan masing-masing ciri khasnya, kedua unit utama bangunan Masjid Agung Demak memberikan informasi dan gambaran betapa pengaruh budaya dan arsitektur lokal sangat kuat dalam menampilkan karakteristik langgam bangunan.

Tiang Utama (Soko Guru)

Soko adalah pilar atau kolom yang berfungsi menopang bangunan masjid. Selain berfungsi sebagai struktur utama, soko juga berfungsi sebagai penentu identitas ruang dan simbol kultural.

Soko Guru berada pada ruang utama masjid yang berjumlah empat buah dengan bentuk silinder berbahan kayu jati. Keempat soko guru tersebut menopang atap tajug berjenjang pada bagian paling atas. Di sekeliling soko guru terdapat dua belas soko yang disebut soko pengarak, dimana soko-soko tersebut berbentuk silinder namun berbahan bata atau beton yang menopang atap tajug pada bagian tengah. Sedangkan soko-soko pada bagian teras atau soko emperan masjid menyokong atap tajug pada bagian paling bawah.

Sehingga masing-masing soko pada bangunan tajug Masjid Agung Demak memiliki fungsi yang sama tapi pada jenjang atap yang berbeda.

Gambar 21. Soko-soko Penopang Tajug Masjid Agung Demak

Pada gambar di atas, soko guru pada Masjid Agung Demak berbentuk bulat dengan penampang lingkaran, soko guru ini memiliki bentuk yang cukup unik yaitu berbentuk geometris silinder, polos tanpa adanya ukiran ataupun hiasan lainnya.

Gambar 22. Soko Guru Masjid Agung Demak

Pada masing-masing pilar soko guru tertulis nama-nama sunan yang dipercaya menyumbang soko-soko tersebut. Keempat sunan yaitu; Sunan Ampel, Sunan Gunung Jati, Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga. Masing-masing soko guru ditandai dengan nama-nama keempat sunan tersebut.

Gambar 23. Soko Guru Masjid Agung Demak dan Nama-nama Sunan

Gambar 24. Soko Guru Masjid Agung Demak dan Nama-nama Sunan

Soko Majapahit adalah kolom-kolom berjumlah delapan buah yang terdapat pada bangunan serambi masjid yang menjadi penopang utama atap limasan. Dikelilingi pula oleh soko-soko dipinggirnya berjumlah dua puluh delapan buah.

Gambar 25. Soko-Soko Penopang Atap Limasan Pendopo

Material yang menyusun soko Majapahit dari kayu jati dengan motif ukiran khas Majapahit, dibagian kaki ditopang oleh umpak dari batu. Sementara soko-soko dipinggirannya atau soko pengarak yang berjumlah dua puluh delapan buah terbuat dari beton yang juga memiliki umpak.

Masjid ini mempunyai beberapa bangunan dan serambi. Bangunan induk memiliki empat tiang utama yang disebut saka guru. Bangunan serambi merupakan bangunan terbuka dengan atap berbentuk limas yang ditopang delapan tiang yang disebut Saka Majapahit. Luas keseluruhan bangunan Utama Masjid Agung Demak adalah 31 x 31 m². Di samping bangunan utama, juga terdapat serambi masjid yang berukuran 31 x 15 m dengan panjang keliling 35 x 2,35 m; bedug dengan ukuran 3,5 x 2,5 m; dan tatak rambat dengan ukuran 25 x 3 m. Serambi masjid berbentuk bangunan yang terbuka. Bangunan masjid ditopang dengan 128 saka, empat di antaranya merupakan soko saka guru sebagai penyangga utamanya. Tiang penyangga bangunan masjid berjumlah 50 buah, tiang penyangga serambi berjumlah 28 buah, dan tiang kelilingnya berjumlah 16 buah.

Fungsi tiang-tiang ini adalah sebagai penyangga bangunan dari pondasi sampai puncak masjid. Di antara empat tiang itu ada satu tiang yang sangat unik, yang dikenal sebagai saka tatal yang letaknya di sebelah timur laut. Tiang unik ini disebut tatal (serpihan balok kayu), karena dibuat dari serpihan kayu yang ditata dan dipadatkan, kemudian diikat sehingga membentuk tiang yang rapi. Pada tiang-tiang penyangga masjid, termasuk saka guru, terdapat ukiran yang menunjukkan corak ukiran gaya Hindu yang indah bentuknya. Tiang yang terletak pada bagian barat laut didirikan oleh Sunan Bonang, di barat daya merupakan karya Sunan Gunung Jati, di bagian tenggara buatan Sunan Ampel, dan yang berdiri di timur laut merupakan karya Sunan Kalijaga. 

Pondasi

Sebagaimana ciri khas masjid Jawa yang memiliki bentuk pondasi persegi dan pejal (massive), agak tinggi diatas dasar yang padat. Pondasi pada pilar-pilar Masjid Agung Demak berdiri diatas umpak yang hanya diletakkan pada dasar tanah yang padat. Soko / pilar pada bangunan utama tidak tampak karena berada didalam lantai masjid. Sehingga dengan demikian, apabila terjadi pergerakan tanah ataupun gempa, bangunan menjadi fleksibel dan bertahan terhadap gangguan tersebut.

Umpak merupakan bagian kaki yang menjadi landasan bangunan masjid yang menopang soko-soko diatasnya. Umpak hanya diletakkan tanpa ditancapkan ke dalam tanah. Dengan demikian, posisi lantai bangunan langsung berada dibawah tanah yang padat, sehingga tidak ada ruang diantaranya. Tidak tampak umpak pada soko guru dan soko-soko lainnya pada bangunan utama masjid.

Umpak yang tampak pada Soko Majapahit dan soko-soko pengaraknya pada gambar 15, tampak bentuk dan jenis umpak dengan ukirannya dari material batu. Umpak dengan ornamen bermotif padma berasal dari stilisasi dari huruf Arab yaitu mim (م), ha ( ح), mim ( م) dan dhal ( د) yang dibaca Muhammad (gambar 16)

Gambar 26. Soko Majapahit

Gambar 27. Pondasi Umpak Soko Majapahit di Serambi Masjid Agung Demak

Gambar 28. Stilisasi Motif Padma Umpak Masjid Agung Demak

Tipologi Ruang Masjid Agung Demak

Secara garis besar pola ruang linier Masjid Agung Demak terdiri dari ruang serambi dan ruang utama. Kedua ruang tersebut memiliki teritori dengan karakter masing-masing dengan kesesuaian ruang-ruangnya dengan berbagai elemen dan sifatnya

Gambar 29. Aksonometri Bangunan Induk dan Serambi Masjid Agung Demak

Berikut keterangan unsur-unsur Masjid Agung Demak yang terdiri dari dua unit bangunan utama yaitu induk/inti dan serambi/ pendopo sesuai
gambar di atas :

  • Soko Majapahit; berjumlah delapan buah yang merupakan peninggalan dari Kerajaan Majapahit. Soko ini menjadi struktur utama pada bangunan serambi atau pendopo
  • Pintu Bledeg; Pintu yang dibuat oleh Ki Ageng Selo, pintu masuk Utama selain dua pintu yang lain. Posisi pintu bledeg persis ditengah bangunan induk dan memiliki ukiran yang unik
  • Soko Guru; empat pilar atau tiang utama masjid yang menjadi struktur utama bangunan induk atau dalem
  • Maksurah; tempat sultan shalat, berdoa ataupun khalwat
  • Mimbar; tempat untuk khatib khutbah pada prosesi shalat jum’at
  • Atap Limasan; atap yang menutupi bangunan serambi masjid
  • Atap Tajug; atap yang melingkupi bangunan induk masjid, atap yang memberikan identitas masjid
  • Mahkota; pada ujung atap tajug ditutup dan dihiasi dengan mahkota yang terbuat dari bahan logam
Ruang Utama

Bangunan induk yang merupakan ruang utama Masjid Agung Demak ditandai dengan denah bujursangkar, memiliki empat soko guru di tengah bangunan, dinding bata pada tiap sisi-sisinya, pintu dan jendela, dan beratap tajug berjenjang tiga. Ruang mihrab atau tempat imam shalat, sebagai penanda orientasi ke arah kiblat yang menjadikan masjid secara keseluruhan memiliki orientasi sesuai dengan syari’at Islam yaitu ke arah kiblat yaitu Ka’bah di Mekah.

Bagian depan masjid menghadap ke arah timur atau alun-alun, tambahan teras pada bagian kanan dan kiri masjid.

Empat buah soko guru yang terletak ditengah ruang Utama menghadirkan konsep axis mundi atau poros bangunan induk masjid. Terdapat konsepsi pajupat dan pancer yang merupakan bagian dari kosmologi Jawa yang ditandai dengan adanya keempat soko guru tersebut. Ruang utama shalat menjadi bagian yang paling penting, merupakan poros bangunan Masjid Agung Demak.

Gambar 30. Denah Ruang Utama

Gambar 31. Ruang Utama Masjid Agung Demak

Pada gambar di atas, denah bangunan induk (dalem) yang merupakan ruang shalat utama dengan denah bujursangkar (square), denah ruang tersebut secara tegas dibatasi oleh dinding-dinding masif dengan bukaan pintu berjumlah lima dan jendela berjumlah enam. Sedangkan bangunan serambi (pendopo) memiliki atap limas dengan denah persegi panjang (rectangle). Pada bagian serambi tidak memiliki dinding pembatas, terletak berdampingan dengan ruang utama, posisi serambi di depan atau sisi timur ruang induk.

Ruang merupakan bagian dari bangunan masjid sebagai ‘tubuh’ masjid. Bentuk ruang akan menentukan bentuk atap yang digunakan. Bentuk ruang berpengaruh bentuk masjid secara keseluruhan.

Ruang induk memiliki empat soko guru pada pusat bangunan yang berfungsi sebagai struktur utama dan simbolisasi bangunan tradisional yang khas pada arsitektur Jawa. Sementara pada ruang serambi terdapat delapan soko Majapahit yang hanya terdapat pada Masjid Agung Demak dari semua masjid Jawa.

Gambar 32. Denah Inti Masjid Agung Demak

Soko guru menopang struktur atap di atasnya, sehingga keberadaan konstruksi soko guru sangat vital menopang beban di atasnya. Bentuk penempatan soko guru (bujur sangkar) mengikuti bentuk ruang masjid, bentuk penempatan soko guru (bujur sangkar) menentukan bentuk atap yang ditopang, dan bentuk penempatan soko guru (bujur sangkar) berpengaruh terhadap bentuk masjid secara keseluruhan, karena soko guru sebagai konstruksi yang menopang atap tumpang mengerucut ke atas, maka ada konsep central sebagai pusat dari ruang dan sebagai sumbu vertikal masjid.

Sistem ukuran arsitektur Jawa didasari/ mulai dari pemidangan/ blandar yang ditopang oleh soko guru. Bangunan selebar atau seluas apa tergantung dari tingginya soko guru. Soko guru empat mengikat bagian kaki-badan-kepala.

Pada sisi barat ruang induk terdapat ruang kecil yang dinamakan mihrab buat tempat pengimaman pada waktu shalat. Ceruk kecil tersebut juga sebagai penanda arah orientasi shalat atau kiblat ke Ka’bah di Mekah.

Gambar 33. Serambi (pendopo) Masjid Agung Demak

Gambar 34. Ruang Induk (dalem) Masjid Agung Demak

Mihrab Masjid Agung Demak

Ruang serambi atau pendopo pada Masjid Agung Demak berbentuk denah persegi panjang yang berada pada sisi timur bangunan utama. Pendopo merupakan ruang terbuka dan berfungsi pula sebagai tempat shalat, tempat melakukan pengajian, ataupun musyawarah dan bersosialisasi.

Ruang pendopo masjid bersifat profan dan terbuka, bangunan tanpa dinding. Delapan soko Majapahit pada tengah ruangan ditambah soko disekelilingnya, ditutup atap limasan.

Gambar 35. Serambi Masjid Agung Demak

 

Ruang Pawestren

Pawestren merupakan bangunan yang khusus dibuat untuk sholat jama’ah wanita. Luasnya 15 x 17,30 meter. Pawestren ini dibuat pada zaman K.R.M.A.Arya Purbaningrat pada tahun 1866 M.

Pada saat Islam sudah menjadi mayoritas dianut oleh masyarakat Jawa, kebutuhan akan ruang shalat ditambah dengan membangun ruang khusus shalat wanita yang dimaksudkan sebagai area privat yang dibedakan atas perbedaan gender sehingga aktivitas pada ruang ini bisa menyatu dengan ruang dalem, bisa juga terpisah.

Gambar 36. Denah Ruang Pawestren Masjid Agung Demak

Ruang pawestren terletak pada sisi selatan bangunan induk atau ruang shalat utama dengan ditopang delapan soko, dinding pada bagian barat dan selatan.

Simbol dan Ornamentasi

Terdapat beberapa ragam hias atau ornamen yang menghiasi Masjid Agung Demak yang sebagian besar terdapat di dalam ruang masjid. Berikut ragam hias masjid diikuti keterangan gambar masing-masing elemen:

– Mahkota Masjid

Mahkota yang berada diujung atap tajug masjid sebagai symbol sekaligus ornamen yang memberikan makna khusus pada masjid. Atap umumnya adalah kepala suatu bangunan, dengan adanya mahkota pada ujung tajug menandakan bahwa atap tajug bersusun tiga memiliki sakralitas yang semakin kuat terutama dalam citra wujudnya sebagai masjid.

Gambar 37. Mahkota Masjid Agung Demak

– Surya Majapahit

Lambang tersebut terletak pada dinding diatas mihrab dan pada dinding diatas barisan shaf depan ruang dalam masjid.

Secara umum bentuknya seperti matahari yang memancarkan sinarnya dengan sempurna ke segala arah. Tampak pada gambar 24 dengan beberapa hiasan lainnya, Surya Majapahit dengan delapan arah penjuru angin.

Gambar 38. Surya Majapahit di Masjid DemakGambar 39. Surya Majapahit di Masjid Agung Demak

– Pintu Bledeg

Bledeg berasal dari Bahasa Jawa yang berarti petir, pintu utama itu sekarang ini diduplikat dan dijadikan sebagai pengganti pintu lama yang disimpan di Museum Masjid Demak.

Pintu Bledeg didominasi dengan warna merah dan dilengkapi dengan berbagai ukiran termasuk dua kepala naga. Pintu Bledeg buatan Ki Ageng Selo yang merupakan condrosengkolo berbunyi Nogo Mulat Saliro Wani yang berarti angka tahun 1388 Saka atau 1466 M atau 887 H.

Pintu tersebut dibuat dari kayu jati berukiran tumbuh-tumbuhan, suluran, jambangan, mahkota, dan kepala naga dengan mulut terbuka menampakkan gigi-giginya yang runcing. Pada gambar 4.25, kiri adalah pintu asli, kanan pintu replika yang terpasang pada bangunan Masjid Agung Demak.

Gambar 40. Pintu Bledeg di Masjid Agung Demak

Gambar 41. Pintu Bledeg di Masjid Agung Demak

– Soko Majapahit dan Soko Guru

Pada bagian pendopo Masjid Demak terdapat delapan tiang yang dinamakan dengan Soko Majapahit yang dipercaya berasal dari Kerajaan Majapahit. Tiang-tiang itu persis terletak pada posisi tengah pendopo dan menjadi struktur utama bangunan.

Pada bagian bawah soko Majapahit terdapat umpak batu berukir dengan motif tertentu, berwarna hitam yang menjadi landasan tiang-tiang tersebut. Ukiran yang dipercaya dari pola ukiran Majapahit yang terdapat pada setiap tiang kayu Soko Majapahit.

Gambar 41. Ukiran Pada Soko Majapahit di Masjid Agung Demak

Gambar 42. Ukiran Pada Soko Majapahit di Masjid Agung Demak

– Piring Campa

Hiasan berupa piring keramik dari Campa yang dibawa oleh Ibunda Murtasimah, ibu dari Raden Fatah yaitu putri dari Kerajaan Campa (sekarang Vietnam tengah dan selatan).

Hiasan berupa keramik dari Campa dipasang pada dinding-dinding masjid. Motif yang ada pada piring-piring keramik itu berpola floral beraneka ragam bentuk. Demikian pula dengan piringan keramik tersebut juga terdapat beberapa macam pola.

Gambar 43. Hiasan Keramik Pada Dinding Masjid Agung Demak

– Maksurah

Maksurah adalah bangunan kecil yang ada di dalam masjid pada shaf paling depan barisan shalat pada sisi selatan mihrab. Maksurah diperuntukkan secara khusus buat sultan berkhalwat, berdoa ataupun menjalankan ibadah shalat Bentuk maksurah berupa bangunan kecil tertutup masif dengan pola ukiran kaligrafi Islam.

Gambar 44. Maksurah di Masjid Agung Demak

– Dampar Kencana

Benda arkeologi ini merupakan peninggalan Majapahit abad ke-15 yang berfungsi sebagai singgasan raja. Artefak ini menjadi bukti kemenangan Raden Fatah atas Grindawardana. Sehingga dampar kencana dibawa ke Demak untuk dijadikan sebagai mimbar masjid.

Gambar 45. Dampar Kencono di Masjid Agung Demak

Gambar 46. Dampar Kencono di Masjid Agung Demak

Raden Fatah merobohkan situs Kerajaan Majapahit dengan tujuan menghilangkan warisan kerajaan serta mengambil aset kerajaan sehingga tidak menimbulkan lagi perebutan kekuasaan. Raden Fatah mengambil delapan soko ukir yang dikenal dengan Soko Majapahit diboyong ke Demak yang dijadikan sebagai Soko Pendopo Masjid Kadipaten. Dampar Kencono dijadikan mimbar khatib.

Mihrab Masjid Agung Demak

Di dalam bangunan utama terdapat ruang utama, mihrab, dan serambi. Ruang utama yang berfungsi sebagai tempat salat jamaah, terletak di bagian tengah bangunan. Bagian mihrab atau bangunan pengimaman berada di depan ruang utama,. Bagian ini berbentuk sebuah ruang kecil dan mengarah ke arah kiblat (Mekkah).

Mihrab adalah ruang berupa ceruk kecil sebagai tempat pengimaman. Di bagian dalamnya, tepatnya di dinding sisi arah kiblat terdapat hiasan gambar bulus yang merupakan prasasti “Condro Sengkolo”. Prasasti ini memiliki arti “Sariro Sunyi Kiblating Gusti”, bermakna tahun 1401 Saka atau 1479 M. Pada gambar 4.30 menunjukkan posisi mihrab yang dihiasi dengan beberapa hiasan diantaranya Surya Majapahit dan Bulus pada bagian dalam mihrab.

Gambar 47 Mihrab di Masjid Agung Demak

Dalem ageng (tertutup), badan (tertutup), sesuatu yang tertutup karakternya semakin sakral. Dalem ageng ada ruang yang lebih sakral, senthong kiwo – senthong tengen, ada pintunya. Senthong tengah (tempat menyimpan palawijo) digambarkan dengan kain cindai (kain merah-putih), pertemuan sel telur dan sperma. Kaitannya dengan bagaimana tata ruang pada masjid, arsitektur tradisional Jawa dalam bentuk rumah tadi ditransformasi ke dalam masjid. Senthong tengah yang paling sakral tanpa pintu demikian juga pada mihrab tempat pengimaman juga tanpa pintu.

Simbol Bulus

Simbol bulus dipakai sebagai prasasti penanda waktu diresmikannya masjid sebagai Masjid Kesultanan Demak setelah diangkatnya Raden Fatah sebagai sultan pertama pada tahun 1478 M.

Gambar 48. Simbol Bulus di Masjid Agung Demak

Dari semua simbol, mulai dari yang geometrik, organik, hingga yang abstraktif, dan hiasan yang ada pada Masjid Agung Demak, dapat diketahui besarnya pengaruh budaya dan peradaban Jawa pada masa itu.

a. Sarana & Prasarana Masjid

Komponen Pelengkap

Komponen-komponen yang sekarang masih ada dan menjadi komponen pelengkap Masjid Agung Demak tetap merupakan bagian dari masjid secara keseluruhan, baik itu berfungsi sebagai pendukung fisik, sarana pendukung aktifitas, atau sebagai artefak budaya. Adapun komponen-komponen pelengkap yang ada pada Masjid Agung Demak antara lain :
– Pawestren, merupakan bangunan yang khusus dibuat untuk sholat jama’ah wanita. Dibuat menggunakan konstruksi kayu jati, dengan bentuk atap limasan berupa sirap kayu jati. Bangunan ini ditopang 8 tiang penyangga. Pawestren ini dibuat pada zaman K.R.M.A.Arya Purbaningrat pada tahun 1866 M.
– Situs Kolam Wudlu, situs ini dibangun mengiringi awal berdirinya Masjid Agung Demak sebagai tempat untuk berwudlu. Hingga sekarang situs kolam ini masih berada di tempatnya meskipun sudah tidak dipergunakan lagi.
– Menara, bangunan sebagai tempat adzan ini didirikan dengan konstruksi baja. Pemilihan konstruksi baja sekaligus menjawab tuntutan modernisasi abad-20. Pembangunan menara diprakarsai para ulama, seperti KH.Abdurrohman (Penghulu Masjid Agung Demak), R.Danoewijoto, H.Moh Taslim, H.Aboebakar, dan H.Moechsin pada tahun 1932.
– Bedug dan Kentongan, kedua alat ini digunakan pada masa silam sebagai alat untuk memanggil masyarakat sekitar masjid agar segera dating melaksanakan sholat 5 waktu.
– Gentong besar dan kecil, merupakan peninggalan masa Dinasti Ming Abad ke XIV dan merupakan hadiah Putri Campa.
– Cungkup Makam, bangunan makam Sultan Trenggono dan makam-makam lainnya yang berjumlah 24 makam. Cungkup dari atap tajug bertumpuk dua dengan mustaka di bagian ujungnya

Menara Masjid Agung Demak

Menara ini terletak di halaman depan masjid sisi selatan dan dibuat dengan konstruksi baja siku. Atap menara berbentuk kubah dengan hiasan bulan sabit serta lengkung-lengkung pada dinding ruangannya. Menara, bangunan sebagai tempat adzan, ini didirikan dengan konstruksi baja. Pemilihan konstruksi baja sekaligus menjawab tuntutan modernisasi abad XX. Pembangunan menara diprakarsai para ulama, seperti KH. Abdurrohman (penghulu Masjid Agung Demak), R. Danoewijoto, H. Moh Taslim, H. Aboebakar, dan H. Moechsin.

Sumber 49. Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman, 2014

Kolam Wudhu Masjid Agung Demak

Bangunan kolam terletak di sudut tenggara serambi masjid. Di dalam kolam tampak sejumlah batu kali yang disusun berkelompok. Pada bagian timur kolam membentang pagar yang terbuat dari pasangan bata dengan hiasan berupa batu-batu koral putih yang disusun menempel pada permukaan bata. Situs ini dibangun mengiringi awal berdirinya Masjid Agung Demak sebagai tempat untuk berwudu. Hingga sekarang, situs kolam ini masih berada di tempatnya meskipun sudah tidak dipergunakan lagi.

Gambar 50. Kolam Wudhu Masjid Agung Demak

Museum Masjid Agung Demak

Museum Masjid Agung Demak merupakan bangunan yang terletak di sebelah utara masjid, dan digunakan untuk menyimpan benda-benda bersejarah yang berasal dari bangunan Masjid Agung Demak. Museum Masjid Agung Demak adalah sebuah museum yang terletak di dalam kompleks Masjid Agung Demak, tepatnya di sebelah utara masjid, dalam lingkungan alun-alun kota Demak. Museum ini buka tiap hari dari Senin hingga Minggu pada jam kerja. Museum ini menyimpan berbagai barang benda-benda peninggalan bersejarah yang berasal dari bangunan Masjid Agung Demak. Jumlah koleksi benda bersejarah di museum ini mencapai lebih dari 60 koleksi. Museum ini berdiri di atas lahan seluas 16 meter persegi yang berada di kompleks Masjid Agung Demak. Dibangun Museum ini dibangun dengan anggaran mencapai Rp 1,1 miliar yang berasal dari APBD Demak dan sisanya dari Badan Kesejahteraan Masjid (BKM) Masjid Agung Demak.

Gambar 51. Museum Masjid Agung Demak

Perpustakaan Masjid Agung Demak

Masjid Agung Demak memiliki sebuah Pepustakaan yang Terletak di sebelah kanan Masjid dengan Lebar 7,5 meter Panjang 10 meter Luas = 75 m2 didalamnya terdapat berbagai sumber referensi bacaan seperti sejarah Demak, kitab, tafsir dan masih banyak jenis buku yang lainya.

Gambar 52. Perpustakaan Masjid Agung Demak

Gambar 53. Perpustakaan Masjid Agung Demak

Penginapan Dan Penyewaan Tempat Rapat

Untuk para peziarah yang mau bermalam di area Masjid Agung Demak tersedia tempat penginapan sebanyak 8 kamar dengan fasilitas yang cukup memadahi dan untuk para kelompok organisasi yang mau menyewa tempat untuk rapat masjid Agung Demak juga tersedia ruang pertemuan yang sekaligus dapat digunakan sebagai ruang serbaguna dengan fasilitas yang cukup memadahi.

b. Program Pemeliharan, Pengembangan & Pemberdayaan Sarana Masjid

Rehabilitasi dan Renovasi Masjid Agung Demak

Situs Masjid Agung Demak telah ditetapkan sebagai cagar budaya Peringkat Nasional dengan SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Nomor: 243/M/2015, tertanggal 18 Desember 2015. Di dalam SK tersebut juga diputuskan bahwa terhadap Cagar Budaya Peringkat Nasional maka setiap orang dilarang untuk melakukan pelestarian tanpa didasarkan pada hasil studi kelayakan yang dapat dipertanggungjawabkan secara teknis, akademis, dan administrative sebagaimana Pasal 53 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 tahun 2010.

Masjid Agung Demak merupakan living monument yang keberadaannya telah melalui rentang waktu yang sangat lama sehingga terjadi interaksi, baik dengan faktor alam maupun perilaku manusia. Adanya interaksi tersebut, menyebabkan gejala-gejala perubahan dan kerusakan telah ada sejak dahulu. Upaya pelestarian Masjid Agung Demak juga telah banyak dilakukan. Berdasarkan beberapa sumber, perbaikan-perbaikan masjid telah dilakukan sejak masa Sultan Trenggana sampai masa kemerdekaan. Pada masa kemerdekaan perbaikan dilakukan pada tahun 1966 – 1969 dan 1973 – 1974.

Selanjutnya kegiatan pemugaran secara menyeluruh dilakukan pada tahun 1982 – 1987. Namun ketahanan beberapa komponen pasca pemugaran diperkirakan berlangsung selama 25 tahun. Artinya, setelah 25 tahun harus segera ditinjau ulang kondisinya. Pada tahun 2011 dilakukan kajian konservasi Masjid Agung Demak. Berdasarkan hasil kajian diketahui sebagian komponen kayu terutama yang berada pada brunjung berada dalam kondisi lunak dan mengelupas, padahal kayu tersebut berfungsi sebagai penahan struktur sehingga sangat berbahaya jika tidak segera ditindaklanjuti. Pada tahun 2013 dilakukan Studi Pelapukan Komponen Kayu pada Atap Tingkat III (brunjung). Berdasarkan hasil studi diketahui bahwa terjadi pelapukan kayu dan terdapat jamur perusak yang berpengaruh terhadap kekuatan kayu.

Pada tahun 2018, adanya kondisi kerusakan pada Masjid Agung Demak telah dilaporkan oleh Ta’mir Masjid Agung Demak melalui surat Nomor : 33/A/TMAD/IV/2018 tertanggal 18 April 2018. Melalui surat tersebut dilaporkan bahwa telah terjadi kerusakan seperti : (1) pelapukan kayu pada Sebagian bangunan atap tertinggi, (2) dinding tembok retak dan sebagian mengelupas, (3) sirap atap sebagian rapuh,s ehingga bocor, (4) bangunan menara miring, (5) pada atap tertinggi, banyak ditemukan kelelawar karena suhu lembab, (6) benda-benda museum diserang keropos sehingga timbul serbuk serta sebagian lembab, (7) bangunan pendukung makam dan sekitarnya sudah tua sehingga terjadi kerusakan.

Oleh karena itu, Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Tengah mengadakan studi teknis-arkeologis berkaitan dengan rehabilitasi dan konservasi Masjid Agung Demak, yang didasakan pada : (1) melihat kondisi kerusakan dan pelapukan serta kondisi lingkungannya, (2) nilai penting cagar budaya, baik pada kualitas fisik bangunan maupun makna kulturalnya. Berdasarkan studi teknis- arkeologis tersebut disimpulkan bahwa Masjid Agung Demak harus segera dilakukan pelestarian berupa rehabilitasi dan konservasi bangunan cagar budayayang telah rusak dengan memperhatikan prinsip-prinsip pelestarian.

Pendirian Masjid Agung Demak ini dilakukan dalam tiga tahap pembangunan yaitu:
a) Tahap pertama, terjadi pada tahun 1466. Ketika itu masih berupa bangunan Pondok Pesantren Glagahwangi dibawah asuhan Sunan Ampel dan Raden Fattah. Dengan berhasilnya dakwah yang dilakukan oleh Raden Jinbun (sebutan lain Raden Fattah), datanglah para Wali Songo untuk membicarakan rencana pembangunan masjid yang pertama yaitu pada tahun 1466 M. Bersamaan dengan tahun itu pula Raden Jinbun diberi nama oleh para Wali Songo dengan nama Raden Fattah. Masjid yang dibangun pertama kali diberi nama Masjid Glagahwangi.
b) Tahap kedua, pada tahun 1477 dibangun kembali sebagai Masjid Kadipaten Glagahwangi Demak.
c) Tahap ketiga dilakukan pembangunan (renovasi) pada tahun 1478 dan bersamaan dengan pengangkatan Raden Fatah sebagai Sultan pertama di Kesultanan Demak.

Berikut adalah Masjid Agung Demak dari masa ke masa :

Gambar 54. Foto Dokumentasi Masjid Agung Demak, tahun 1910

Sumber : Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman, 2014

Gambar 55. Foto Dokumentasi Masjid Agung Demak, tahun 1910

Sumber : Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman, 2014

Gambar 56. Foto Dokumentasi Masjid Agung Demak, tahun 1920 – 1939.

Sumber : Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman, 2014

Makam Kasepuhan

Lokasi Makam Raja-Raja Demak atau Makam Raja-Raja Kesultanan Demak berada di sisi Barat Laut Masjid Agung Demak, masih di kompleks masjid. Tiga kubur utama yang ada di Makam Kasepuhan adalah Makam Raden Patah (Raden Abdul Fattah Al-Akbar Sayyidin Panotogomo, Sultan Demak pertama), Raden Patiunus (Pangeran Sabrang Lor, Raja Demak kedua), dan Dewi Murthosimah permaisuri / istri Raden Patah. Di sisi kanan kiri makam utama ini terdapat sejumlah makam lain seperti Makam Pangeran Benawa yang panjang kuburnya boleh dibilang tidak lazim karena lebih panjang dari makam pada umumnya. Pangeran Benawa adalah Raja Pajang ketiga (1586-1587) bergelar Prabuwijaya.

Makam Raden Patah berada di belakang Masjid Agung Demak. Kompleks pemakaman ini juga sering disebut masyarakat sebagai Pemakaman Kesultanan Bintoro Demak atau Kesultanan Demak.Di sini bukan hanya ada makam dari Raden Patah saja. Tapi dalam satu Kompleks pemakaman ini terdapat makam dari sultan-sultan Demak dan para abdinya. Terdapat makam Sultan Demak II (Raden Pati Unus), Sultan Demak III (Raden Trenggono), dan Pangeran Sedo Lepen (Raden Surowiyoto), serta makam putra Raden Patah, Adipati Terung (Raden Husain).

Selain makam para sultan, di sini juga ada makam para pangeran dan istri, Putri Champa hingga Syekh Maulana Maghribi. Putri Champa sendiri berasal dari Kerajaan Champa di Vietnam, dan merupakan ibunda dari Raden Patah. Batu nisan di kompleks pemakamam ini berbeda-beda ukuran dan warnanya. Ada yang berwarna putih, ada pula yang cokelat. Makam Raden Patah misalnya, warnanya cokelat muda dan lebih tinggi dari makam lain.

Raden Patah diyakini merupakan anak dari Prabu Brawijaya V Kertabhumi, raja Majapahit terakhir. Raden Patah memiliki gelar sebagai Panembahan Jimbun setelah melegitimasi Kesultanan Demak sebagai penerus Majapahit dan pengangatakannya sebagai sultan Demak oleh Wali Songo.

Hal itu membuat Masjid Agung Demak memiliki nilai sejarah yang tinggi dan terkesan sakral.

terdapat dua bagian makam di belakang Masjid Agung Demak. Yakni Makam Kasepuhan yang berada di area terbuka dan Makam Kaneman yang terdapat cungkupnya.

Makam Kasepuhan terdiri dari Makam Sultan Fatah, Sultan Pati Unus, dan istri Sultan Fatah, beserta keluarganya. Sementara Makam Kaneman meliputi Sultan Trenggono, Sultan Prawoto, dan beberapa ahli warisnya.

Makam Area Luar

Gambar 57. Makam Sunan Ngudung, ayah Sunan Kudus

Gambar 58. Makam istri Sunan Ngudung

Gambar 59. Makam Ki Ageng Campa

Gambar 60. Makam Pangeran Sedolepen

Gambar 61. Makam pangeran Mekah dan Makam Istri pangeran Mekah

Gambar 62. Makam Pemaisuri Sultan Demak 1 / R.Fattah Dewi Murthosimah, makam Sultan Demak 2 Raden Patinus pangeran Sabrang Lor, dan makam Sultan Demak .1 R. Abdul Fattah Al- Akbar Sayyidin Panotogomo.

Gambar 63. Makam Nyi Ageng Campa

Gambar 64. Makam Nyi Ageng Manyuro

Gambar 65. Makam Prabu Darmo Kusumo

Gambar 66. Makam Maulana

Gambar 67. Makam R. Ayu Sumarni

Gambar 68. Makam Adipati Terung

Gambar 69. Makam Kyai Ageng Ketu

Gambar 70. Makam Nyai Ageng Ketu dan Makam Maulana

Gambar 71. Makam Kanjeng pangeran Benowo

Gambar 72. Makam R. Gatutkoco

Gambar 73. Makam Nyi Ageng Serang Dewi Morsiyah

Gambar 74. Makam P. R. Arya Jenar

Gambar  75. Makam P. R. Arya Penangsang

Gambar 76. Makam P. R. Jipang Panolan

Gambar 77. Makam Jaran Panolih

Gambar 78. Makam H. Hasan Basari

Gambar 79. Makam Kyai Haji Moch. Ali Bin : Ibrahim sekalian

Gambar 80. Makam R.M Mangun Joyo

Gambar 81. Makam Hj. Muhsinah

Gambar 82. Makam Zaenab

Gambar 83. Makam Hj. Rodhiatun Binti KH. Abdul Mukti dan KH. Oemar Bin KH. Abdoerrohman

Gambar 84. Makam H. Tafta Zani Bin Mugni Rohmad

Gambar 85. Makam K. R. P. Natas Angin

Gambar 86. Makam R. Ibrahim

Gambar 87. Makam istri R. Ibrahim

Gambar 88. Makam anak R. Ibrahim

Gambar 89. Makam P. Singo Yudo

Gambar 90. Makam Ki Dakung

Gambar 91. Makam Nyi Dakung

Gambar 92. Makam R. Chultum Tuban

Gambar 93. Beberapa makam yang terdapat pada lokasi luar area pemakaman.

Makam Kaneman

merupakan makam terdiri atas 24 makam, yang  berlokasi di sebelah barat Kasepuhan, dan makam lainnya. komplek kaneman yang memuat 24 nisan; yang terkenal antara lain Sultan Trenggono (Sultan Demak III) dan Sultan Prawoto.

Makam Area Dalam

Beberapa nama Tokoh yang dimakamkan, yaitu :

Gambar 94. Bagian tempat masuk makam dan beberapa makam pada lokasi dalam ruangan

Gambar 95. Makam Tumenggung Tanpo Siring

Gambar 96. Makam Sultan Demak ke 3 R. Trenggono

Gambar 97.  Makam Pemaisuri Sultan Demak ke 3

Gambar 98. Makam Nyi Ageng Pinatih

Gambar  99. Makam  Maulana

Gambar 100. Makam KY Ageng Wasi

Gambar 101. Makam Nyi Ageng Wasi

Gambar 102. Makam Pangeran Ketip

Gambar 103. Makam R. Haryo Bagus Mukmin

Gambar 104. Makam Pangeran Pandan 

Gambar 105.  Makam Patih Mangkurat KA. Wonopolo

Gambar 106. Makam Patih Wonosalam

Gambar 107. Makam Pangeran Suruh

Makam Syekh Maulana Maghribi

Syekh Maulana Maghribi Demak yang bernama lengkap Syekh Maulana Mudhofar Malik Hasan al-Maghribi adalah Maha Guru Dewan Walisongo. Beliau adalah Wali Demak ke-6 yang hijrah dari Negeri Maghribi, julukan untuk Daulah An-Nashriyah atau Bani Ahmar, yang sekarang lebih dikenal dengan kota Granada, Spanyol (Eropa).

Syekh Maulana Maghribi Demak adalah orang pertama yang menjuluki nama ‘Demak’ pada daerah yang kemudian menjadi Kerajaan Demak Bintoro dan sekarang menjadi Kabupaten Demak pada tahun 1387 M ketika beliau bersama rombongan menempati tanah Delta yang sekarang disebut Setinggil, Kauman, Pecinan dan sekitarnya.Nama Demak, lanjutnya, bukan berarti tanah yang  berawa-rawa, melainkan memegang tanah dengan cara menempelkan kelima jarinya dengan punggung telapak tangan, sehingga tanah tersebut dijadikan sebagai perkampungan yang populer dengan sebutan Glagah Wangi. Syekh Maulana Maghribi Demak adalah pendiri Pesantren Glagah Wangi Demak pada tahun 1391 M setelah perkampungan Glagah Wangi selesai dibangun selama 3 tahun. Disamping membangun pesantren Glagah Wangi, beliau juga membangun Langgar (surau) Wali yang digunakan untuk pelaksanaan sholat berjama’ah sekaligus sebagai lembaga pendidikan untuk anak-anak keluarga Maghribi yang hijrah dari Granada ke Demak. Langgar Wali ini merupakan cikal bakal dari Masjid Glagah Wangi Demak yang kini dikenal sebagai Masjid Agung Demak. Syekh Maulana Maghribi Demak adalah pimpinan Wali Demak yang ditunjuk oleh Wikrama Wardhana (Raja Majapahit tahun 1389-1427 M) pada tahun 1404 M atas rekomendasi dari Sri Ratna Aji Pangkaja Parameshwara (Arya Damarwulan) yang saat itu menjadi Panglima Perang Majapahit dalam melawan Kerajaan Blambangan yang dipimpin Wirabumi (Minak Jinggo). Dipilihnya Syekh Maulana Maghribi Demak yang tiada lain adalah ayah mertua Arya Damarwulan sebagai wujud kesetiaan Demak terhadap Majapahit sebelum terjadinya Perang Paregreg (1404-1406 M), karena Bhre Lasem saat itu ada dipihak Wirabumi. Maka Demak harus bersikap, apakah mengikuti Bhre Lasem atau mengikuti Majapahit (sebuah keputusan yang harus diambil sebelum terjadinya Perang Paregreg). Para pendiri Dewan Walisongo yang menjadi murid-muridnya adalah tokoh yang mengikuti musyawarah para wali se-Jawa yang pertama tahun 1463 M/867 H maupun pada musyawarah para wali se-Jawa kedua tahun 1466 M/870 H yang kemudian menghasilkan kesepakan berdirinya Dewan Walisongo pada Hari Ahad Pon, tanggal 14 Dzul Hijjah 870 H atau bertepatan dengan tanggal 27 Juli 1466 M. Pelaksanaan musyawarah para wali se-Jawa baik yang pertama maupun kedua diselenggarakan di Pesantren Glagah Wangi Demak milik Syekh Maulana Maghribi Demak yang kemudian dilanjutkan menantunya yang bernama Syekh Maulana Muhammad Abuddin al-Maghribi yang terkenal dengan sebutan Sunan Ampel Demak (lokasi makamnya ada di belakang Masjid Agung Demak dan sudah beralih fungsi menjadi bangunan penginapan yang menghadap ke timur) kira-kira berjarak sekitar 12-13 meter arah barat makam mertuanya (Syekh Maulana Maghribi Demak).

Syekh Maulana Maghribi Demak wafat pada hari Rabu Pon, tanggal 13 Rabiul Awal 861 H bertepatan dengan tanggal 9 Februari 1457 M di usia yang ke 131 tahun. Lokasi makam beliau berada di belakang Masjid Agung Demak bertuliskan Syekh Maulana Maghribi.

Gambar 108. Bagian tempat masuk ke area pemakaman.

Gambar 109. Makam Syekh Maulana Maghribi

Gambar 110. Makam R. A. Engkung Kusumo

Gambar 111. Beberapa makam yang terdapat dekat pada kawasan Makam Syekh Maulana Maghribi

Gambar 112. Beberapa makam yang terdapat dekat pada kawasan Makam Syekh Maulana Maghribi